Ringkasan Introduksi Islam
Islam adalah sebuah agama monoteistik (tauhidi) yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw di Makkah sekitar tahun 610 M, dan dengan penyebaran yang cepat dan signifikan, menjadi agama dominan di sebagian besar Asia dan Afrika dalam waktu kurang dari setengah abad. Penganut agama ini disebut Muslim.
Islam dalam bahasa berarti taat dan tunduk pada hukum, dan dalam penggunaan keagamaannya berarti tunduk pada perintah dan hukum Ilahi (misalnya QS. Al-Baqarah [2]: 112, 128).
Menurut ayat-ayat Al-Qur'an yang merupakan sumber agama Islam yang paling orisinal, agama ini sama sekali tidak membedakan nabi-nabi (utusan) Ilahi (QS. Baqarah [2]: 136), bahkan dalam penjelasan Al-Qur'an, semua nabi adalah para dai penyeru satu agama dalam berbagai bentuknya, yaitu agama Islam dan ajaran bersamanya adalah tunduk pada perintah atau hukum Allah swt. Oleh karena itu, terkadang dalam Al-Qur'an, Islam disebut sebagai agama monoteistik bersama atau, dengan kata lain, "agama Allah" yang semua nabinya menyeru kepadanya dan tidak ada agama lain yang diterima Allah (lihat: QS. Ali ‘Imran [3]: 19, 83, 85; QS. Al-Maidah [5]: 44) dan contoh tertingginya adalah agama yang menyempurnakan agama-agama Ialhi sebelumnya yang disebarkan oleh Nabi Muhammad saw. Beliau telah berusaha keras menunaikan misi ini selama 23 tahun (lihat: QS. Al-Maidah [5]: 3).
Munculnya Islam
Kehidupan Nabi Islam saw
Apa yang terpatri dalam benak dari menelaah dan mengkaji kehidupan Rasulullah saw selama 63 tahun adalah gambaran munculnya seorang nabi Ilahi dan kisah seorang tokoh yang setelah melewati banyak kesulitan, tanpa ada sedikit pun rasa lelah atau keputusasaan, berusaha mereformasi masyarakat dan menyatukan Semenanjung Arab sehingga memiliki kesiapan menyebarkan Islam ke luar perbatasan Arab Saudi. Dan yang lebih penting, ia membangun sebuah agama yang kini menjadi salah satu agama terpenting di dunia.
Daribi’tsah(pengangkatan sebagai nabi) hingga hijrah
Yang dikenal dalam Sirah sebagai awalbi’tsahadalah malam ketika malaikat wahyu menampakkan diri kepada Nabi saw di gua Hira’ dan membacakan ayat pertama Surat Al-‘Alaq kepadanya. Tak lama kemudian, malaikat wahyu datang kembali dan memberikan risalah untuk membimbing umatnya dan mereformasi masyarakat dari kerusakan agama dan moral serta membersihkan Baitullah dari berhala dan hati manusia dari tuhan-tuhan palsu.
Nabi saw memulai seruan tauhid pertama kali dari keluarganya. Orang pertama yang beriman kepadanya adalah istrinya Khadijah, dan di antara para pria, sepupunya Ali bin Abi Thalib as yang merupakan anak asuh/tanggungan Nabi saw pada saat itu. Dalam sumber berbagai aliran Islam, orang lain seperti Abu Bakar dan Zaid bin Haritsah disebutkan sebagai orang pertama yang masuk Islam.
3 tahun setelahbi’tsah, Nabi saw diperintahkan untuk mengumpulkan seluruh keluarga Quraisy dan menyebarkan seruan tauhid lebih luas. Namun kaum musyrik Quraisy bersikap keras terhadapnya dan akhirnya beliau memerintahkan beberapa sahabatnya untuk hijrah ke Abisinia (Habasyah). Upaya Nabi saw mengajak penduduk di luar Makkah, khususnya Taif, tidak membuahkan hasil, dan akhirnya perhatian Nabi saw tertuju ke kota Yatsrib yang berpotensi untuk dakwah kepada Islam. Baiat kesetiaan dua suku Aus dan Khazraj menjadi landasan pertama pemerintahan yang didirikan Nabi saw di Yatsrib. Kemudian semakin banyak warga Yatsrib yang berbaiat setia kepada Nabi saw dan nampaknya hanya sekelompok kecil yang belum masuk Islam di Yatsrib. Meskipun bait ini dilakukan secara rahasia, namun kaum Quraisy mengetahuinya. Setelah adanya kekhawatiran terhadap perilaku Nabi saw dan kaum Muslimin, mereka memutuskan untuk mengumpulkan orang-orang dari seluruh suku Quraisy dan membunuh Nabi saw pada malam hari agar darah Nabi saw yang nantinya tertumpah tidak dituduhkan ke siapa pun. Nabi saw yang mengetahui konspirasi ini, menempatkan Imam Ali as di tempat tidurnya dan beliau sendiri pergi ke Yatsrib bersama Abu Bakar.
Dari hijrah hingga wafat
Kepergian Nabi saw dari Makkah yang disebut hijrah merupakan titik balik dalam sejarah hidupnya dan sejarah Islam. Nabi saw sampai di Yatsrib pada bulan Rabiul Awal tahun ke-14 Kenabian. Setelah itu, kota itu diberi nama Madinah al-Rasul atau singkatnya Madinah.
Dengan menetapnya Nabi di Madinah, jumlah Muhajirin bertambah dari hari ke hari, dan kaum Ansar –penduduk Yatsrib– menampung mereka di rumah mereka. Pertama Nabi saw mengikat perjanjian persaudaraan antara Ansar dan Muhajirin dan memilih Ali bin Abi Thalib sebagai saudara.
Setelah itu terjadilah peperangan antara kaum musyrik Quraisy dan kaum Muslimin, dan akhirnya Makkah ditaklukkan oleh kaum Muslimin, dan sebagian besar Jazirah Arab berada di bawah pemerintahan Nabi saw.
Pada tahun ke-10 H, Nabi berangkat haji dan sekembalinya, beliau mendeklarasikan Ali bin Abi Thalib di sebuah tempat bernama Ghadir Khum sebagai “maula” umat Islam sepeninggal beliau.
Pada awal tahun 11 H, Nabi saw menderita sakit dan wafat pada tanggal 28 Safar, atau menurut riwayat lain 12 Rabiul Awal tahun yang sama, dalam usia 63 tahun. Pada saat itu, tidak ada anak-anaknya yang hidup kecuali Siti Fatimah as. Dengan bantuan beberapa anggota keluarganya yang lain, Imam Ali as memandikan dan mengafani jenazah suci Nabi saw dan menguburkannya di rumahnya – yang sekarang berada di dalam Masjid Madinah.
Dalam menggambarkan perilaku dan sifat-sifat Nabi saw, disebutkan bahwa beliau sering diam dan tidak berbicara kecuali bila diperlukan. Beliau tidak pernah membuka mulut sepenuhnya, kebanyakan tersenyum dan tidak pernah tertawa terbahak-bahak. Ketika ingin menoleh ke seseorang, beliau berbalik dengan seluruh tubuhnya. Beliau sangat menyukai kebersihan dan keharuman, sehingga ketika lewat di suatu tempat, orang yang lewat setelahnya akan mengenali kehadiran beliau karena pengaruh aromanya yang harum. Beliau hidup dalam kesederhanaan, duduk dan makan di tanah dan tidak pernah sombong. Beliau tidak pernah makan sampai kenyang dan dalam banyak kasus, terutama ketika baru saja tiba di Madinah, beliau menerima rasa lapar. Namun, karena beliau tidak hidup sebagai biksu, dan beliau sendiri yang mengatakan bahwa harus memanfaatkan kenikmatan dunia dalam batasannya, beliau berpuasa dan juga beribadah. Perilaku beliau terhadap umat Islam dan bahkan dengan penganut agama lain didasarkan pada kasih sayang, kemurahan hati, pemaafan dan kelembutan. Sirah dan kehidupan beliau begitu menyenangkan hati umat Islam sehingga mereka biasa menceritakan bagian-bagiannya secara paling rinci, dan bahkan hingga saat ini mereka menggunakannya sebagai panutan kehidupan dan agama mereka.
Pesan mendasar Islam adalah kembali pada tujuan bersama para nabi, yaitu tauhid dan penyembahan Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan yang mana keimanan dengannya disebut dalam hadis Nabi Muhammad saw yang terkenal sebagai sumber keselamatan manusia: “Ucapkan tiada Tuhan selain Allah, maha kalian akan selamat,” (قولوا لا الٰه الاّ الله تفْلحوا).
Dalam pemikiran seperti ini, seiring dengan ditegakkannya keadilan yang merupakan salah satu tujuan utama para nabi Ilahi, seluruh keistimewaan manusia, seperti warna kulit, ras, bahasa, dan selain itu, dianggap hanya sebagai sarana untuk saling mengenal satu sama lain, dan apa yang menjadi kriteria dan ukuran superioritas, hanyalah "kesalehan/ketakwaan".
Untuk merealisasikan aspek risalah ini, Nabi saw mendirikan pemerintahan berdasarkan prinsip tauhid dan keadilan di sebuah kota kecil dan menyatukan suku Hijaz dan Tihamah yang saat itu tidak akur serta membentuk "umat yang satu", yang menurut Al-Quran adalah salah satu tujuan dari semua nabi Ilahi.
Pesan risalah Nabi saw merupakan pesan universal sejak awal, meskipun beliau harus memulai dakwahnya dari kaum dan kabilahnya (QS. Yusuf [12]: 104). Dalam menghadapi adat istiadat dan tradisi orang-orang Arab, meskipun Al-Qur'an menentang manifestasi buruknya, dan, misalnya, menyebut kafanatikan orang-orang Arab pra-Islam sebagai "حميّة الْجاهليّة" (kefanatikan jahiliyah), namun dalam menghadapi adat istiadat yang baik dan terkadang didasarkan pada ajaran samawi, peran Islam adalah mengarahkan kepada monoteisme dan memperbaiki penyimpangan.
Khalifah-khalifah awal
Pada saat wafatnya Nabi saw, klan-klan yang tersebar di Jazirah Arab hidup di bawah bendera satu pemerintahan; Pemerintahan yang setelah wafatnya Rasulullah saw dijalankan oleh beberapa sahabatnya dengan gelar “Khalifah Rasulullah”. Tiga dekade setelah wafatnya Nabi saw di mana 4 sahabat yang paling berpengaruh mencapai kekhalifahan, dibandingkan dengan periode-periode setelahnya, tampaknya lebih dekat dengan Sunnah Nabi saw dan merupakan ciri paling menonjol dari periode pertama ini karena khilafah belum berbentuk turun temurun sebagai warisan. Keempat khalifah ini kemudian disebut "Khulafa’ Al-Rasyidin": Abu Bakar, Umar, Usman dan Imam Ali.
Prinsip-prinsip keyakinan
Prinsip-prinsip keyakinan Islam, yaitu keimanan dan keyakinan terhadap tauhid, kenabian, dan kebangkitan, sebenarnya menjadi landasan agama Islam, sehingga semua proposisi deklaratif (khabari) dan proposisi interogatif atau imperatif (insya’i) dalam agama ini pemaknaannya berasal dari salah satu prinsip atau ketiganya. Oleh karena itu, semua orang yang memeluk Islam, walaupun mempunyai perbedaan pendapat yang sangat signifikan dan terkadang sangat bertentangan mengenai rincian dan penafsiran keyakinan tersebut, mereka semua meyakini dan menganut prinsip-prinsip tersebut dan tidak ragu bahwa:
1. Allah swt adalah pencipta dunia, Esa dalam zat, sifat, danaf’al, dan tidak ada seorang atau sesuatu pun yang menjadi sekutu-Nya dalam hal apa pun;
2. Nabi Muhammad saw adalah nabi dan utusan Allah, dipilih sebagai nabi terakhir di antara rangkaian para nabi. Al-Qur'an adalah kumpulan firman Allah yang diwahyukan kepadanya;
3. Kiamat atau Hari Kebangkitan niscaya akan terjadi dan amal serta pikiran baik dan buruk manusia akan dihisab di hadapan Mahkamah Ilahi, dan akhirnya, yang baik akan masuk surga, dan yang buruk akan masuk neraka.
a-Ma’rifatullah(Ketuhanan)
Berdasarkan ajaran Al-Qur'an, keberadaan Allah sangat jelas. Meskipun Al-Qur'an memaparkan sebuah agama berporos pada Tuhan dan banyak tempat di dalam kitab suci ini disebutkan tentang Tuhan, perbuatan serta urusan-Nya di semua manifestasi alam semesta, namun tidak ada yang namanya "argumen pembuktian keberadaan Tuhan". Dengan demikian, keberadaan Tuhan tampak jelas dan tidak diragukan lagi (QS. Ibrahim [14]: 10).
b. Kosmologi
Alam semesta tidak terbatas pada dunia nyata dan cakupannya jauh lebih luas dibandingkan dunia kasat mata. Al-Qur'an menyebut dunia nyata sebagai "شهادة" (dapat disaksikan) dan kabalikannya disebut dengan "gaib" (QS. Ar-Ra'd [13]: 9).
Begitu pentingnya keimanan terhadap hal gaib dalam ajaran Al-Qur'an sehingga disebut sebagai salah satu ciri orang bertakwa bersama ibadah shalat, keimanan terhadap wahyu dan akhirat (QS. Al-Baqarah [2]: 3-4).
c. Kenabian
Kata nabi (نبی) berasal dari kata “نبأ” dan oleh karenanya disebut nabi karena ia menyampaikan berita dari ghaib. Al-Qur'an menyebut persepsi dan penerimaan gaib ini sebagai "wahyu", dan penerimanya disebut nabi atau rasul. Wahyu adalah semacam pembicaraan Tuhan kepada manusia, sehingga kenabian mensyaratkan demikian (QS. An-Nisa' [4]: 163).
Tujuan wahyu adalah untuk memberikan peringatan kepada manusia, khususnya tentang hari kiamat. Karena jika mereka tidak memberikan peringatan tentang hari kiamat, maka tidak ada dakwah keagamaan yang akan membuahkan hasil. Wahyu atau kesadaran batin para nabi tidak pernah mengalami transformasi dan penyelewengan, dan inilah sebabnya para nabi semuanya maksum. Kemaksuman itu ada tiga macam, yaitu kemaksuman dari kesalahan saat menerima wahyu, kemaksuman dari kesalahan dalam menyampaikan risalah wahyu, dan kemaksuman dari dosa, yaitu sesuatu yang menyebabkan penodaan kesucian seorang hamba dan penentangan perintah Ilahi. Bagaimanapun, ada sesuatu dalam diri orang maksum yang melindunginya dari terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak pantas baginya seperti kesalahan dan dosa.
Kriteria nabi lainnya adalah membawa mukjizat. Dengan kata lain, Al-Qur'an berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang (tampaknya) tidak sesuai dengan aturan-aturan alam yang berlaku. Ini adalah mukjizat yang dinisbatkan oleh Al-Quran kepada para nabi seperti Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, Lut, Daud, Sulaiman, Musa, Isa dan Muhammad saw.
Islam adalah satu-satunya agama yang mengkaji seluruh aspek kehidupan manusia dan membaginya menjadi dua kategori: bersih dan tidak bersih (kotor). Kategori pertama disebut halal dan kategori kedua haram. Islam adalah agama yang menghapus segala perintah yang berat dan menyulitkan yang diberikan sebelumnya kepada Ahli Kitab, khususnya Yahudi.
Salah satu keistimewaan Nabi saw adalah sebagaikhatam al-anbiya’(penutup para nabi), dan agama Islam sebagai penutup agama (QS. Al-Ahzab [33]: 40) dan ini berarti bahwa agama ini tidak pernah dinaskh (mansukh atau dihapus), syariatnya permanen, dan kesempurnaan individual dan sosial manusia hanya sebatas apa yang dijelaskan Al-Qur'an, dan telah ditetapkan dalam bentuk hukum syariah.
Adapun mukjizat Nabi yang hidup dan abadi adalah Kitab Suci Al-Qur'an. Al-Qur'an adalah bukti paling otentik tentang Islam, yang mengandung unsur-unsur paling mendasar dari agama ini, yaitu prinsip-prinsip akidah dan keyakinan yang bercabang darinya. Al-Quran juga menjelaskan akhlak atau budi pekerti dan seluruh hukum agama dan syariat dan menurut Al-Quran sendiri (QS. Al-Isra' [17]: 9) menyerukan kepada suatu agama yang menjadi pembimbing umat manusia lebih baik dari agama manapun.
d. Kebangkitan
Kepercayaan terhadap kebangkitan adalah salah satu pondasi utama dan pilar penting Islam. Mengingkari kebangkitan berarti mengingkari perintah dan larangan, janji balasan kebaikan dan janji balasan keburukan, kenabian dan wahyu, dan hal ini berujung pada pengingkaran dan ketidakpercayaan terhadap agama Ilahi.
Banyak ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan kebangkitan dengan bentuk yang berbeda-beda. Dalam beberapa ayat, ketika membicarakan sifat-sifat orang kafir, meskipun mereka tidak beriman kepada tauhid dan kenabian, hanya cukup menyebut bahwa mereka tidak beriman kepada akhirat (QS. Al-Isra' [17]: 10).
Hal ini menunjukkan bahwa jika seseorang mengingkari kebangkitan, meskipun ia beriman pada keesaan Tuhan dan keyakinan dasar lainnya, maka agamanya tidak sah lagi.
Ibadah dan ritual keagamaan
Menimbang bahwa hal paling mendasar dalam Islam dan agama-agama samawi lainnya adalah tauhid –meskipun pada agama-agama samawi lainnya, serta pada beberapa aliran dan madzhab Islam, terdapat distorsi-distorsi yang di satu sisi mengarah pada sikapghuludan berlebihan, dan sisi lain, mengarah kepada kelalaian dan kekurangan (ifrathdantafrith)- dalam Islam, segala sesuatu yang menuntun seseorang kepada tauhid dan ketaatan mutlak terhadap perintah dan larangan akan menjadi baik, dan segala sesuatu yang mengarah pada pengingkaran terhadap tauhid dan aksesorinya atau menimbulkan kerusakan di dalamnya dianggap tidak baik atau buruk.
Selain kumpulan keyakinan yang disebut “ushul ad-din” (pokok-pokok agama), terdapatfuru’ ad-din(cabang-cabang agama) yang menjadi aspek praktis agama Islam. Dalam ajaran yang lazim di kalangan Syi’ah Imamiyah,furu’tersebut adalah shalat, puasa, zakat, khumus, haji, jihad, amar ma’ruf, nahi munkar,tawallidantabarri(berwilayah kepada para imam dan berlepas diri dari musuh-musuh imam), namun di kalangan mazhab Ahlu Sunnah tidak dikenal beberapa hal tersebut sebagaifuru’ ad-din.
Hubungan sosial dalam Islam
Agama-agama besar di dunia, karena menyatukan sekelompok besar orang berdasarkan satu keyakinan, memiliki dampak-dampak sosial, namun tidak diragukan, pentingnya hubungan sosial di semua agama tidaklah sama. Dalam hal ini, Islam menaruh perhatian pada reformasi masyarakat dan pengaturan hubungan sosial sebagai salah satu tujuan utamanya. Disebutkan dalam Al-Qur'an bahwa tujuan diutusnya para rasul dan membekali mereka dengan kitab serta mizan adalah supaya masyarakat menunaikanqisth(QS. Al-Hadid [57]: 25), yang maksudnya adalah keadilan praktis dan, dalam pandangan umum, keadilan sosial.
Bagian penting dari hukum yang disampaikan Al-Qur'an dan hadis Nabi, dan selanjutnya sebagian besar fikih Islam dikhususkan untuk masalah-masalah sosial. Diantaranya ada yang merupakan hukum publik atau dengan kata lain undang-undang pemerintah yang menjadi subyektaklifdalam kategori hukum sosial ini, dan ada pula yang berkaitan dengan peraturan hukum perdata yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat.
Aspek keagamaan dari tugas sosial
a- Zakat dan Khumus
Dalam Al-Qur’an puluhan kali disebutkan perintah menunaikan shalat, sebagai salah satu perintah pertama agama Islam, disertai dengan perintah membayar zakat. Zakat, menurut arti harfiahnya dan juga ditegaskan oleh Al-Qur'an, selain pembayaran finansial adalah semacam "tazkiah" dan "penyucian" batin. Oleh karena itu, dalam kesimpulan pertama ayat Al-Quran, zakat sama seperti ibadah lainnya, yang mana niattaqarrub(mendekatkan diri kepada Allah) dianggap sebagai syarat sahnya. Namun, zakat, selain aspek ibadah individualnya, secara sosial dianggap sebagai cara untuk mendistribusikan kekayaan dan juga menyediakan harta untuk dibelanjakan pada urusan publik umat Islam. Dalam Al-Qur'an disebutkan dengan jelas tentang "amil zakat" (QS. At-Taubah [9]: 60), dan ini merupakan tanda yang jelas bahwa bahkan pada masa Nabi Muhammad saw, zakat dianggap sebagai pajak pemerintah yang memiliki amil untuk mengambilnya.
Zakat bukanlah pajak per kapita dan juga tidak dipungut atas harta itu sendiri, namun pajak atas produksi orang-orang dalam komunitas Islam atau likuiditas mereka. Artinya jika umat Islam mempunyai likuiditas atau produk yang ditentukan dalam syariah –jika mencapai batas nisab (kuorum)– harus membayar persentasenya sebagai zakat, yang dalam beberapa kasus adalah sepersepuluh (1/10) dan dalam beberapa kasus seperduapuluh (1/ 20).
b- Jihad
Arti umum jihad dalam budaya Islam mencakup segala upaya militer atau sipil untuk menyeru kepada Islam. Dalam Al-Qur'an, kata jihad kadang-kadang digunakan dalam arti umum upayafi sabilillah(di jalan Allah) (misalnya, QS. Al-A’nkabut [29]: 6, 69), namun dalam istilah terbatasnya, adalah perang di jalan Allah dan melawan orang-orang kafir dan musyrik.
Ayat-ayat Al-Qur'an tentang jihad diturunkan sesuai dengan persyaratan dakwah Nabi saw. Pada masa keberadaan Nabi saw di Makkah, tidak terjadi konflik militer antara umat Islam dan kaum musyrik, dan ayat-ayat Al-Qur'an menyerukan umat Islam untuk bersabar dan bertahan menghadapi penganiayaan kaum musyrik. Namun beberapa ayat Makiyah telah memberikan landasan pemikiran jihad dalam kerangka sebuah pemerintahan Islam (lihat: QS. Al-Furqan [25]: 52; QS. Asy-Syu’ara [26]: 227; QS. Al-‘Adiyat [100]: 1-5).
Dengan hijrahnya umat Islam ke Madinah, terbentuklah pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Nabi saw dan tidak lama kemudian peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik pun dimulai. Menurut pendapat yang masyhur, ayat pertama yang memberikan izin jihad kepada umat Islam adalah QS. Al-Hajj [22]: 39.
Periode 10 tahun kehidupan Nabi saw di Madinah berlalu dengan banyak peperangan. Dengan demikian, bagian penting dari kehidupan Nabi, atau dengan kata lain lembaran penting dari sejarah politik awal Islam disebut "maghazi".
Dalam perspektif umum mengenai posisi jihad dalam masyarakat Islam, dapat dikatakan bahwa di kalangan umat Islam, jihad tidak pernah disebutkan untuk setiap perang dengan tujuan apa pun, namun jihad adalah perang yang tidak bertujuan untuk membunuh lawan dan menaklukkan wilayah serta memperoleh rampasan. Jihad, mempertahankan keyakinan dan nilai-nilai tauhid dan kemanusiaan, jihad mukadimah untuk menyebarkan nilai-nilai tersebut. Dan oleh karena itulah mengapa jihad dianggap sebagai salah satu ibadah dan cara terbesar untuk bertaqarrub kepada Tuhan.
Hubungan sipil dan hak pribadi
a- Keluarga
Sepanjang sejarah peradaban, keluarga, sebagai satuan masyarakat terkecil, selalu mempunyai kedudukan penting. Di satu sisi, keluarga merupakan pusat cinta satu pasangan dan kehidupan bersama mereka, serta tempat mengasuh dan mendidik generasi baru dengan penuh kasih sayang. Dan di sisi lain, peran faktor materi seperti kebutuhan seksual dan kepentingan ekonomi tidak dapat disangkal di dalamnya. Sifat inilah yang menyebabkan Islam memandang topik keluarga dari dua sudut pandang spiritual dan material, serta dari dua sudut pandang moral dan hukum, tentunya masing-masing sudut pandang mempunyai ciri khasnya tersendiri.
Dalam ajaran Islam, perhatian diberikan pada perbedaan ruhani antara kedua jenis kelamin, dan kebutuhan ruhani setiap manusia terhadap hubungan spiritual dengan lawan jenis: Al-Qur'an menyebut wanita sebagai sumber kenyamanan bagi pria (QS. Al-A'raf [7]: 189; Ar-Rum [30]: 21, dan di sisi lain menganggap laki-laki sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap perempuan dan pemimpin/pelindunng/tulang punggungnya (qiwam) (QS. An-Nisa’ [4]: 34). Terkadang, dalam melihat masing-masing gender dan kebutuhan bersama, perempuan dianggap sebagai “pakaian” bagi laki-laki, dan laki-laki dianggap sebagai “pakaian” bagi perempuan (QS. Al-Baqarah [2]: 187.
Islam, yang tidak menganggap pencapaian kebahagiaan di akhirat mengharuskan untuk meninggalkan dunia, memiliki kepedulian yang realistis terhadap kebutuhan materi manusia. Islam menganggap meninggalkan cara yang biasa dalam memilih istri (monastisisme) dalam beberapa agama, sebagai bukan kehendak Ilahi, melainkan bid’ah yang diadakan manusia (QS. Al-Hadid [57]: 27).
Dalam pandangan umum umat Islam, pernikahan dianggap sebagai sunnah nabi yang tidak ada pertentangan, dan melajang (hidup tanpa isteri) adalah hal yang tidak disukai dan dibenci oleh semua orang di opini publik. Hadits ini dikenal dari Nabi saw bahwa “Pernikahan itu sunnahku, dan siapa yang tidak mengikuti sunnahku, dia bukan termasuk dariku.”
b- Hubungan keuangan
Islam muncul dalam sebuah masyarakat yang diatur oleh serangkaian peraturan adat, baik atau buruk. Oleh karena itu, Islam melihat misinya hanya dalam mereformasi keistimewaan-keistimewaan sistem yang buruk itu. Maka salah satu bagian penting dari ketentuan hukumnya adalahtanfidhatau disebut “pengesahan” ketentuan adat yang sudah ada, dan hanya dalam kasus adanya kebutuhan untuk mengoreksi atau membatalkan suatu ketentuan yang ada, maka ketentuan baru disyariatkan.
Aturan publik dan landasan pemerintahan
Fakta bahwa Nabi Muhammad saw bekerja mendirikan pemerintahan di kota Madinah, yang meluas wilayahnya ke beberapa wilayah semenanjung semasa hidup beliau, merupakan wujud nyata dari aspek politik dan pemerintahan agama Islam. Pemerintahan Islam awal inilah yang dalam waktu singkat menjadi landasan berdirinya khilafah Islam dengan wilayah kekuasaan yang jauh lebih luas. Berbagai mazhab Islam sepakat dalam hal ini bahwa setelah wafatnya Nabi saw, setiap masa dipimpin oleh seseorang dari umat, yang disebut imam. Namun terdapat perbedaan pendapat yang luas mengenai syarat imam dan penetapannya. Dari sudut pandang sejarah, pembahasan imamah merupakan salah satu perselisihan yang pertama kali terjadi di kalangan umat Islam setelah wafatnya Nabi saw, yang bermula dari peristiwa Saqifah.
Di kalangan Sunni, imam atau khalifah dapat ditentukan dengan penunjukan (nash) khalifah sebelumnya, atau dengan pemilihan dewan, dan terkadang perebutan kekuasaan secara paksa juga ditambahkan pada keduanya kemungkinan sebelumnya. Yang dianggap sebagai pandangan umum di kalangan Sunni adalah keharusan untuk menaati khalifah dan imamah bersifat ‘ikhtiar’ (pilihan), artinya imam bukanlah orang yang telah ditentukan sebelumnya. Khalifah Sunni pada awal mula Islam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali as, yang disebut sebagai “khulafa’ rasyidin”. Setelah keempat khalifah tersebut, khalifah Umayyah dan khalifah Bani Abbas menguasai sebagian penting dunia Islam, dan kemudian kekhalifahan Ottoman juga mengakui dirinya sebagai pewaris kekhalifahan Islam lama.
Kaum Syi'ah menganggap kedudukan imamah setelah Nabi saw adalah hak Imam Ali as. Syiah Imamiyah menyebut imamah seagai nash dan ketentuan Ilahi dan mereka percaya bahwa imamah akan berpindah setelah Nabi saw kepada Imam Ali as dan setelahnya, secara berurutan, kepada 11 anak keturunannya.
Imamah menurut Syiah Imamiah atau Syiah itsna asyariyah (12 imam) adalah kedudukan suci dan pengangkatan imam adalah urusan Tuhan. Dalam praktiknya, hanya Imam Ali as, imam pertama, dan selama beberapa bulan Imam Hassan as, imam kedua, selain kepemimpinan spiritual, juga memegang pemerintahan, dan di akhir zaman, imam kedua belas, Imam Mahdi as, yang sekarang sedang ghaib kubra, akan muncul dan mendirikan pemerintahan yang adil di seluruh dunia.
Rantai pemimpin Syi’ah merupakan rantai berkelanjutan dari para imam Ahlul Bait as yang dimulai dari abad pertama Hijriah oleh Imam Ali as, dan secara berkesinambungan berlanjut pada abad ke-2 dan ke-3 dengan para imam seperti Imam Baqir dan Imam Shadiq as yang disebutkan dalam sumber berbagai aliran diakui sebagai ahli fikih terkemuka.
Kenyataan ini tidak boleh diabaikan bahwa penekanan masing-masing imam terhadap aspek-aspek tertentu dari pemikiran dan ajaran fiqih tidak lepas dari kondisi sosial dan kebutuhan budaya pada masanya. Atas dasar itu, tidak jauh dari harapan bahwa kompilasi dan sistematisasi fikih Imamiah, bersamaan dengan proses kompilasi dalam sejarah fikih telah membuahkan hasil berkat upaya Imam Shadiq as.
Ringkasan Introduksi Islam | |