Oleh: Dr. Mohammad Khoush Haikal Azad (Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia)
Sinema Iran, Sebelum dan Setelah Revolusi Islam
Sinema adalah sebuah fenomena yang sejak lebih dari 100 tahun yang lalu telah membuka jalannya di tengah masyarakat dunia dan menjadi bagian yang sangat menentukan dalam pembentukan opini publik, gaya hidup, nilai-nilai kemanusiaan, agama, sosial dan budaya umat manusia. Oleh karena itu, industri film dan produksi program televisi telah berkembang amat pesat dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan platform digital
Sinema adalah sebuah fenomena yang sejak lebih dari 100 tahun yang lalu telah membuka jalannya di tengah masyarakat dunia dan menjadi bagian yang sangat menentukan dalam pembentukan opini publik, gaya hidup, nilai-nilai kemanusiaan, agama, sosial dan budaya umat manusia. Oleh karena itu, industri film dan produksi program televisi telah berkembang amat pesat dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan platform digital.
Karena fenomena ini memiliki peran yang begitu sentral dalam menciptakan hingga mentransformasikan budaya serta berpengaruh terhadap tingkat dan perluasan penerimaan budaya asing di tengah masyarakat setiap negara, maka dapat disimpulkan berat dan besarnya amanah yang diberikan kepada insan perfilman di berbagai negara dunia khususnya negara- negara Islam mulai dari para sutradara, penulis, pemain film hingga pemerintah sebagai regulator dari industri perfilman.
Sinema baru berusia lima tahun ketika masuk ke Iran pada awal abad ke-20 dan bertumbuh dengan amat cepat di tengah masyarakat dimana sebagian besar rakyat menjadi penonton film-film Iran. Hal ini membuat sebagian besar produksi sinematik bertujuan untuk menaklukkanbox officedan menarik perhatian masyarakat melalui berbagai pendekatan yang sering kali jauh dari nilai-nilai etika dan moral. Pada era itu nilai-nilai, budaya, norma-norma sosial dan ajaran agama tak memiliki tempat pada film-film Iran dan hanya selera penonton yang menjadi faktor penentu cerita dan struktur film.
Hal ini mengalami perubahan signifikan pada tahun 1979 saat kemenangan Revolusi Islam Iran dimana perhatian kepada etika, nilai-nilai kemanusiaan dan budaya menjadi pendekatan utama perfilman Iran. Setelah kemenangan Revolsui Islam dan pendirian Republik Islam Iran melalui referendum, industri perfilman dan sinema menjadi salah satu prioritas pemerintah Iran sehingga almarhum Ayatullah Khomeini Pemimpin Agung Republik Islam Iran dalam pidato pertamanya di Tehran setelah beliau kembali dari pengasingan di luar negeri menyebutkan sinema sebagai salah satu manifestasi kebudayaan dan peradaban yang harus melayani dan mendidik generasi penerus bangsa. Dalam pandangan Ayatullah Khomeini, sinema merupakan sebuah perangkat utama pendidikan yang mampu menciptakan peradaban Islam modern di setiap negara dan kancah internasional.
Arahan-arahan ini, selain dukungan pemerintah dan hadirnya beragam universitas yang menghadirkan fakultas film dan seni, telah mengubah paradigma, pendekatan dan tujuan industri pefilman Iran, dimana kekerasan dan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan, budaya dan nilai-nilai Islami tak mendapatkan tempat lagi pada produk perfilman Iran. Evolusi ini melahirkan sutradara-sutradara besar dan ternama di negara kami antara lain Abbas Kiarostami, Masoud Kimiaei, Ebrahim Hatami Kia hingga Majid Majidi yang rencananya hadir pada diskusi virtual hari ini. Mereka semua adalah tokoh-tokoh dan seniman negara kami yang hasil karyanya mampu mencetak generasi emas di Iran dan membawa kemajuan dan perkembangan bagi negara. Begitu juga hasil karya mereka berhasil memenangkan dan meraih prestasi pada beragam kompetisi dan festival internasional yang bergengsi.
Pendekatan yang sama saya dapat temukan pada sebagian film Indonesia yang pernah saya tonton antara lain “Laskar Pelangi” karya Riri Riza yang hadir juga di tengah kita hari ini, “Tjoet Nja' Dhien“, “Guru Bangsa: Tjokroaminoto“, “Ayat-Ayat Cinta” dan “Habibie & Ainun” dan lain sebagainya yang semuanya mempromosikan budaya, moral dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan melihat potensi besar di kedua negara Iran dan Indonesia yang terlihat melalui karya-karya fenomenal pefilman kedua negara, maka saya mengusulkan interaksi dan komunikasi lebih intens antara para insan film kedua pihak untuk menjadi sayap diplomasi budaya dan sosial agar persatuan, perdamaian, kesejahteraan serta kemuliaan nilai-nilai budaya dan sosial dapat tercipta dan peradaban modern Islami diperluas.
------------------------------------------------
* Disampaikan pada acara virtual “Diskusi Film Ramadhan Spesial 2022: Muhammad Rasulullah”, Sabtu, 16 April 2022.
.