Pemikiran Politik Islam Imam Khomeini Dan Relevensinya Dengan Politik Kontemporer
Tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang Pemikiran Politik Islam Imam Khomeini dan relevansinya dengan politik kontemporer.
Latar Belakang
Pada tahun 1979, dunia terguncang oleh sebuah revolusi yang digerakkan oleh seorang ulama. Dialah Ayatullah al-Uzma Ruhullah al-Musawi al-Khomeini, yang lebih dikenal dengan nama Imam Khomeini. Khomeini adalah tokoh sentral dalam Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, yang mengubah secara fundamental tatanan politik, ekonomi, dan budaya di Iran dan juga ditingkat regional dan internasional. Khomeini berhasil menumbangkan rezim Syah Iran yang begitu kuat. Padahal Syah Iran saat itu didukung oleh Amerika, Israel, dan negara-negara Eropa.
Revolusi Islam Iran memiliki pengaruh yang sangat besar pada seluruh dunia. Di dunia Barat, revolusi itu dianggap sebagai awal mula kebangkitan Islam yang dikhawatirkan akan sangat berpengaruh pada negara-negara lain yang merupakan jajahan mereka. Amerika berusaha membujuk Iran dengan memberikan senjata-senjata modern agar mereka mau bekerjasama kembali dengan mereka, tetapi usaha ini sia-sia. Karena semangat rakyat Iran untuk menghilangkan ketergantungan pada dunia Barat sangat besar. Di wilayah dunia Islam, revolusi Islam Iran memberikan inspirasi bagi negara-negara Islam yang tertindas untuk melakukan gerakan-gerakan oposisi melawan rezim yang berkuasa. Di antara negara-negara Islam tersebut adalah Irak, Lebanon, dan Palestina. Tetapi bagi penguasa-penguasa muslim yang tidak ingin kekuasaannya hancur, revolusi Islam Iran merupakan peristiwa yang membawa kekhawatiran tersendiri bagi mereka. Karena itu setelah peristiwa revolusi tersebut Iran menjadi terisolasi di Timur Tengah.
Pemikiran politik Imam Khomeini menekankan pentingnya penerapan hukum- hukum Islam dan pemerintahan berdasarkan ajaran agama. Ia mengembangkan konsep “Wilayatul Faqih” yang memberikan otoritas politik tertinggi kepada seorang pemimpin agama yang berkompeten secara ilmu agama. Imam Khomeini memegang jabatan Rahbar (pemimpin tertinggi) dalam sistem politik Iran pasca-revolusi, dan dia memainkan peran penting dalam membangun struktur pemerintahan baru yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Dalam kepemimpinannya, Imam Khomeini juga menghadapi tantangan dan konflik baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional. Dia berusaha untuk mempertahankan kemerdekaan Iran dan menentang campur tangan asing dalam urusan negaranya. Pemikiran dan tindakan Imam Khomeini memiliki dampak yang signifikan di Iran dan juga di tingkat regional dan global.
Imam Khomeini meninggal pada tahun 1989, tetapi warisan dan pemikirannya tetap mempengaruhi arah politik dan sosial Iran. Ia dihormati oleh pengikutnya sebagai pemimpin spiritual dan tokoh revolusioner yang memimpin perubahan politik dan sosial yang besar di negara tersebut.
Pemikiran Politik Islam Imam Khomeini
Dalam tahun 1979-1981 dunia menyaksikan pembentukan dan perlembagaan Republik Islam Iran. Khomeini dengan revolusinya mewujudkan komponen legitimasi Republik Islam: anti imperlialisme dan mendukung nasionalisme, menjunjung agama dan identitas nasional, partisipasi politik dan konstitusionalisme. Perubahan konstitusional dan institusional yang substansif dilakukan melalui pemilihan. Referendum pada Maret 1979 mengubah Pemerintahan Iran dari monarchi menjadi Republik Islam. Mayoritas rakyat menyetujui gagasan Republik Islam Iran di bawah pimpinan Dewan Revolusi Iran yang diproklamasikan oleh Khomeini pada tanggal 1 April 1979.
Dalam Undang-Undang Dasar yang disahkan lewat referendum pada bulan Desember 1979 selain mencantumkan lembaga yang berlaku secara umum, seperti presiden, kabinet, dan parlemen, yang paling penting adalah adanya lembaga baru Dewan Pengawas Undang-Undang Dasar berhak memeriksa kesesuaian semua undang-undang dengan syari’at Islam dan undang-Undang Dasar, dan jabatan Wali Faqih yaitu kekuasaan mutlak seorang pemimpin agama yang dipercayakan rakyat, karena ia memiliki pengetahuan yang dalam tentang agama Islam dan ia didukung oleh rakyat karena rakyat percaya akan keadilannya.
Dalam hal ini, Imam Khomeini memiliki pemikiran yang sangat kuat mengenai politik Islam. Salah satu karyanya yang paling terkenal, "Hokumat-e Islami: Velayat-e Faqih" (Islamic Government: Governance of the Jurist), menyajikan pandangannya tentang pemerintahan dalam kerangka Islam.
Pemikiran politik Islam Imam Khomeini didasarkan pada konsep "Wilayatul Faqih". Menurutnya, kepemimpinan politik harus diberikan kepada seorang ulama yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan otoritas hukum Islam yang kuat. Imam Khomeini berpendapat bahwa ulama yang kompeten dan bertaqwa adalah orang yang mampu memimpin masyarakat dengan adil berdasarkan hukum-hukum Allah.
Menurut Imam Khomeini, pemerintahan dalam kerangka Islam harus berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam dan hukum syariah. Pemerintah harus memastikan penerapan keadilan sosial, perlindungan hak asasi manusia, dan kesejahteraan umat Muslim. Pemimpin politik Islam juga bertanggung jawab untuk melindungi dan memperkuat identitas Islam serta melawan penjajahan, imperialisme, dan dominasi asing.
Imam Khomeini mengkritik pemerintahan sekuler dan berpendapat bahwa sistem demokrasi liberal yang dipengaruhi oleh Barat tidak sesuai dengan prinsip- prinsip Islam. Baginya, demokrasi dalam Islam harus berdasarkan hukum Allah dan kepemimpinan yang beretika. Dia mengutuk tirani dan korupsi dalam pemerintahan, serta menekankan perlunya keterlibatan aktif umat Muslim dalam urusan politik untuk mencapai keadilan dan kemajuan.
Pemikiran politik Islam Imam Khomeini memainkan peran sentral dalam Revolusi Iran tahun 1979 dan membentuk dasar sistem politik di Iran, dengan pemimpin tertinggi negara yang menjadi Wali Faqih. Pemikirannya tentang politik Islam juga mempengaruhi gerakan Islam di dunia, mendorong perdebatan tentang peran agama dalam pemerintahan dan hubungan antara agama dan politik.
Pandangan Imam Khomeini tentang Politik Kontemporer
Adapun sistem pemerintahan Republik Islam Iran yang merupakan hasil elaborasi dari gagasannya tersebut (Wilayatul Faqih), terbukti jauh lebih viable berbanding dengan apa yang diduga oleh orang-orang banyak sebelumnya. Sehingga topik ini dirasa lebih unik. Ironisnya Republik Islam Iran adalah negara pertama dan satu-satunya di antara negara-negara berpendudukan muslim yang didirikan dalam masa kontemporer, justru ketika banyak kalangan Islam cenderung untuk meninggalkan konsep negara Islam. Republik Islam Iran gagasan Imam Khomeini yang berdiri sampai sekarang merupakan penggabungan antara demokrasi dan teokrasi dan sebagaimana tertuang pada pasal pertama undang-undang (UUD) Republik Islam Iran memperkenalkan “Republik” sebagai bentuk pemerintahan dan “Islam” adalah isi dan kandungannya. Redaksi pasal pertama adalah sebagai berikut: “Pemerintahan Iran adalah Republik Islam yang dipilih oleh rakyat Iran berdasarkan keyakinan masa lalunya kepada pemerintahan Qur’ani yang benar dan adil dan sesudah revolusi Islam kemenangannya dihadiahkan kepada pemimpin dan marja agung Ayatullah Imam Khomeini dengan meraih suara mayoritas 98,2 persen dari jumlah orang yang memilih dalam referendum tanggal 11 dan 12 di tahun 1980. Penerimaan nama “Republik” untuk suatu sistem politik Iran tidak diawali dengan diam, melainkan diawali dengan revolusi dan demonstrasi jutaan rakyat Iran.
Demokrasi di Iran merupakan demokrasi ‘Islam’. Karena uniknya menggabungkan kedaulatan masyarakat di tangan presiden dan kedaulatan Tuhan di Wilayatul Faqih.
Seperti yang telah disebutkan di atas, kita harus mengakui bahwa setiap demokrasi akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kultur dan kondisi negara yang bersangkutan. Kemudian yang menarik dalam sistem pemerintahan Iran ini adalah karena sistem ini mengadopsi dan menggunakan teori “Trias Politika” seperti yang dipraktekkan dalam negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Trias Politika sendiri pertama kali diperkenalkan oleh John Locks (1632-1704) yang kemudian dikembangkan lagi oleh Montesquie (1689- 1755) yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga bagian yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsep ini merupakan prinsip normatif bahwa kekuasaan tidak boleh diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pihak yang berkuasa. Demikian juga konsep Wilayatul Fakih yang dikembangkan oleh Imam Khomeini, membagi pelaksanaan pemerintahan Islam kepada tiga lembaga negara, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meskipun demikian menurut Imam Khomeini dalam konsep Wilayatul Fakih, hanya fakih yang memegang otoritas tertinggi, semua kekuasaan bersumber dari kedudukannya sebagai Mujtahid tertinggi yang memiliki kewenangan terbesar dalam penafsiran sumber hukum.
Dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, kekuasaan lembaga-lembaga negara, baik eksekutif dan legislatif maupun yudikatif, pada prinsipnya tidak berubah. Mereka memiliki kekuasaan yang mandiri pada fungsi dan kedudukan masing-masing lembaga tersebut, hanya saja dalam hierarki struktur politikya, posisi ketiga lembaga ini berada di bawah Wilayatul Fakih. Inilah yang kemudian membedakan pelaksanaan konsep Wilayatul Fakih dengan konsep demokrasi pada umumnya.
Walaupun struktur negara Iran cenderung bersifat teokratis, dalam praktiknya lembaga-lembaga politik “modern” mendapatkan tempat yang cukup penting. Di antaranya, presiden dan parlemen yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum, juga anggota parlemen yang diangkat presiden terpilih pun harus mendapatkan persetujuan dari mayoritas anggota parlemen. Jika dibandingkan negara berkembang di kawasan Timur Tengah, Iran termasuk negara yang menjalankan demokrasi prosedural dengan adanya pemilu secara berkala.
Pengaruh Pemikiran Politik Islam Imam Khomeini terhadap Iran
Pemikiran politik Islam Imam Khomeini memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap Iran. Berikut adalah beberapa dampak utama dari pemikirannya:
1. Revolusi Islam: Pemikiran politik Imam Khomeini menjadi landasan ideologis bagi Revolusi Iran tahun 1979. Revolusi ini menggulingkan rezim Shah Mohammad Reza Pahlavi yang dianggap otoriter dan pro-Barat, dan mendirikan Republik Islam Iran. Imam Khomeini menjadi pemimpin tertinggi negara dan pemimpin spiritual revolusi. Revolusi ini membawa perubahan sosial, politik, dan agama yang mendalam di Iran.
2. Sistem Politik dan Hukum: Pemikiran politik Islam Imam Khomeini membentuk dasar sistem politik dan hukum di Iran. Konsep “Wilayatul Faqih” diterapkan, yang memberikan otoritas politik kepada ulama yang dipilih sebagai Wali Faqih. Pemimpin tertinggi negara menjadi otoritas tertinggi dalam semua aspek politik, keamanan, dan kebijakan luar negeri.
3. Hukum Syariah: Pemikiran Imam Khomeini juga mendorong implementasi hukum syariah secara lebih ketat di Iran. Beberapa sistem hukum Iran diubah untuk mencerminkan prinsip-prinsip Islam, termasuk hukum keluarga, hukum pidana, dan hukum perbankan. Sistem peradilan didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam, dengan peran penting bagi ulama dalam menafsirkan dan mengimplementasikan hukum.
4. Peran Ulama dalam Pemerintahan: Pemikiran Imam Khomeini menguatkan peran ulama dalam pemerintahan dan politik Iran. Ulama memiliki posisi yang kuat dalam menentukan kebijakan politik dan memiliki kekuasaan dalam berbagai lembaga, termasuk Majelis (Parlemen) dan Dewan Wali Faqih. Keberadaan ulama di posisi kekuasaan politik dianggap sebagai penjaga dan pelindung prinsip-prinsip Islam.
5. Pengaruh Regional dan Global: Pemikiran politik Islam Imam Khomeini juga mempengaruhi gerakan Islam di seluruh dunia, terutama di Timur Tengah. Iran di bawah kepemimpinan Imam Khomeini mendukung gerakan perlawanan seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina. Iran juga menjadi pusat perhatian bagi kelompok-kelompok Islamis di berbagai negara yang terinspirasi oleh pemikiran politik Imam Khomeini.
Pengaruh pemikiran politik Islam Imam Khomeini terhadap Iran tidak dapat dipandang ringan. Pemikirannya membentuk fondasi ideologis negara dan mengubah lanskap politik, sosial, dan agama di Iran. Dampaknya terasa dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Iran, termasuk sistem politik, hukum, dan hubungan regional dan global.
Setelah 11 hari di rumah sakit, Khomeini wafat pada tanggal 3 Juni 1989, pada usia 86 tahun. Ketika ia meninggal dunia, berjuta-juta rakyat Iran mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhirnya di Behesyte Zahra, di luar Kota Teheran. Wafatnya Imam Khomeini merupakan kehilangan besar bagi Iran dan umat Islam secara keseluruhan.
Khomeini meninggalkan seorang putra, yaitu Ahmad Khomeini, dan tiga orang putri. Sebenarnya Khomeini mempunyai dua orang putra. Putranya yang lain, Mustafa Khomeini salah seorang ulama yang menonjol, telah lebih dahulu meninggal karena dibunuh agen-agen rezim Syah Iran, ketika ia bersama-sama ayahnya berada dalam pengasingan di Irak.
Khomeini meninggal dengan memberikan suatu keyakinan kepada kaum muslim di seluruh dunia bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang mampu menuntun manusia menuju kebenaran.
Setelah wafatnya, penerus politik dan spiritual Imam Khomeini adalah Ayatullah Ali Khamenei, yang saat ini menjabat sebagai Pemimpin Tertinggi Iran.[rm.id]
.