Adat dan Tradisi Muharram di Iran: Azadari dengan Warna Tradisi
Kisah kehidupan dan kematian Siavash yang menyedihkan membentuk akar yang dalam dan praktek pertama azadari bersama di Iran pra Islam. Ritual duka Siavash atau para pengagumnya menjadi ritual azadari paling tua di Iran. Universalitas dan keagungannya sedemikian rupa sehingga disebutkan dalam kitab besar Shahnameh (Kitab raja-raja) dan mencakup salah satu bagian terindah dan paling digemari.
Beberapa penanda dan unsure yang digunakan dalam tradisi ritual duka untuk Siavash masih tetap ada dalam seremoni ritual duka di Iran pasca Islam dan dipakai dalam berbagai ritual duka.
Azadari pertama untuk Muharram dalam ritual duka Imam Husein tentunya bukan berasal dari orang-orang Iran, namun sejak pertama terjadinya tragedy Karbala pada hari ke-40 dari syahidnya Imam Husein, keluarga, dan para sahabatnya dilakukan oleh salah seorang sahabat setia Nabi saw. bernama Jabir Al-Ansari.
Dikarenakan beberapa khalifah Bani Abbas yang menguasai Iran dan Irak, azadari tidak dilaksanakan secara luas, namun banyak dilakukan dalam bentuk ceramah ulama dan tokoh agama di mimbar-mimbar.
Ketika Dinasti Buwaih yang bermazhab Syiah berkuasa di Iran, azadari untuk Imam Husein sangat marak. Dalam teks-teks sejarah disebutkan demikian: Muizzuddaulah Dailami untuk pertama kalinya memerintahkan kepada rakyat pada hari Asyura untuk berkumpul di suatu tempat tertentu, memakai pakaian duka, menutup pasar, menghentikan aktifitas jual beli. Di masa itulah ketika ritual duka Imam Husein didirikan tenda, kain hitam dipasang di pintu-pintu rumah dan dinding-dinding kota.
Azadari setelah masa Dinasti Buwaih mulai memudar, namun saat Dinasti Safawiyah berkuasa dan menjadikan Syiah sebagai mazhab resmi di Iran, azadari Muharram dan ritual-ritual terkait dengannya mulai menemukan bentuknya kembali dan semakin meluas dan bertambah intens.
Kidung dan ratapan duka atau disebut dalam bahasa Persia dengan naoheh (نوحه) atau rouzeh khani (روضه خوانی) di masa itu kembali hidup dan drama atau pertunjukan takziyah terkait peristiwa Karbala dipertontonkan kepada masyarakat umum.
Masa demi masa seremoni tersebut semakin beraneka ragam di Iran. Masyarakat dari setiap daerah di Iran menunjukkan kecintaan mereka dalam kedukaan mengenang Imam Husein berdasarkan adat dan tradisi masing-masing daerah geografis dan historisnya.
Pada masa Dinasti Qajar, ritual duka ini mengalami penyelewengan. Perbuatan memukul dada dengan pisau, memukul kepala dan wajah, menyayat dengan silet menyimpangkan azadari dari jalur utamanya.
Masa kekuasaan Pahlevi menjadi permulaan masa gelap azadari di Iran, karena penyelenggaraan berbagai bentuk takziyah dan aza’ dilarang saat itu.
Hari ini masyarakat Iran berusaha menyelenggarakan seremoni dan ritual aza sebaik mungkin dengan membentuk berbagai kelompok yang memiliki gelora tinggi dan dengan memperhatikan kepada background cultural historis daerah masing-masing.
Karnaval yang diperingati hari ini menunjukkan budaya, adat, keyakinan, dan tradisi azadari bulan Muharram di berbagai kota Iran. Berikut ini beberapa tradisi di beberapa kota di Iran:
1- Nakhl Gardani
Ritual Nakhl Gardani termasuk salah satu tradisi azadari yang tua dan kuno di kota-kota gurun Iran, terutama Yazd. Nakhl adalah struktur kayu besar yang pada hari-hari di bulan Muharram yang dipikul di atas pundak para pelayat dan menggambarkan orang-orang sedang mengikuti ritual pemakaman jasad suci Imam Husein.
Dengan datangnya bulan Muharram, nakhl ditutup kain hitam sepenuhnya dan dihias dengan beberapa ornamen seperti pedang, kaca cermin, buah-buahan, berbagai uang recehan, rumbai-rumbai yang dihias, dan berbagai sapu tangan sutera berwarna-warni.
Tradisi pelaksanaan ritual biasaya sebagai berikut: Para pelayat yang berduka pada 10 hari pertama bulan Muharram atau 10 hari terakhir bulan Shafar, menggerak-gerakkan nakhl seolah menggerakkan perahu sambil mengelilingi bundaran di wilayah itu hingga 3 putaran. Tentunya memutarkan nakhl ini dilakukan berbeda-beda di setiap tempatnya.
Memukul/menepuk dada, melantunkan ratapan/kidung duka, dan membagi-bagikan nazar juga menjadi bagian lain dalam tradisi ritual ini.
2- Tradisi mengacungkan sekop
Salah satu riwayat yang dinukil dari peristiwa Karbala adalah sebagai berikut: Kabilah Bani Sa’d sampai ke sahara Karbala setelah 3 hari peristiwa Asyura. Lalu mereka memakamkan jasad suci para syuhada tragedi tersebut. Riwayat ini mempengaruhi sebagian ritual azadari yang dilakukan pada bulan Muharram di wilayah Khurasan bagian utara. Oleh karena itu mereka melakukan tradisi membawa sekop untuk memberikan penghormatan terhadap para syuhada.
Berdasarkan keyakinan masyarakat wilayah ini, sekop-sekop yang digunakan dalam ritual ini telah memperoleh berkah dan akan mendatangkan rezeki yang halal untuk pekerjaan tani dan hasil panen.
Ritual ini kemungkinan berusia sekitar 300 tahunan. Saat melakukan ritual, para pelayat di bagi menjadi dua kelompok 15 orang. Mereka yang memegang sekrup berdiri melingkar dan mengacungkan sekrupnya ke arah langit. Mereka saling memukulkan ujung sekop ke sekop lainnya.
Selain ritual tersebut juga terdapat tradisi nakhl gardani dengan membawa tandu besar sebagai kayu dan pertanda pemakaman jasan suci Imam Husein dan tandu kecil atau buaian bayi sebagai simbol pemakaman jasad Ali Ashgar. Mereka juga membawakan kidung duka.
3- Ritual Tradisional Tasu’a dan Asyura di wilayah Arazi dan Baghmalak Isfahan
Dua wilayah Arazi dan Baghmalak menyaksikan peristiwa berbeda dalam kedukaan Imam Husein pada zuhur tanggal 9 dan 10 Muharram yang disebut dengan tasu’a dan asyura. Dalam sebuah ritual berusia 300 tahun, penduduk wilayah Baghmalak di zuhur tasu’a dan asyura berjalan menuju wilayah Arazi dan keesokan harinya penduduk wilayah Arazi menyambut para pelayat dari wilayah Baghmalak. Masing-masing dari wilayah tersebut mempersiapkan makanan yang telah dihias sesuai kemampuan penduduknya. Makanan tersebut diletakkan di ruangan-ruangan khusus di Huseiniah. Setelah shalat zuhur, pintu Huseiniah dibuka dan setiap keluarga menjamu keluarga lain di ruangan tersebut.
4- Tradisi melumuri badan dengan tanah liat di Provinsi Lorestan
Sebagian tradisi takziyah di Iran telah ada sebelum masuknya Islam ke negeri ini dan selanjutnya menyesuaikan dengannya setelah Islam tersebar. Tradisi melumuri sekujur tubuh dengan tanah liat di Lorestan, bagian barat Iran ini termasuk dalam tradisi-tradisi tersebut yang pada mulanya dilakukan untuk kedukaan dan kematian para pahlawan dan pemuda, namun kini dilakukan dalam peringatan takziyah Imam Husein. Tradisi ini menjadi warisan nasional negara Iran yang tercatat.
Mula-mula tanah yang sebelumnya telah dibersihkan dan diayak diletakkan di kolam kecil dengan dicampurkan air mawar nazar bersama air biasa sehingga membentuk lumpur (tanah liat). Di pertengahan malam, orang-orang yang telah bernazar masuk ke kolam yang dipenuhi tanah liat dan seluruh kepala, wajah dan bahkan mata mereka dilumuri tanah liat tersebut.
Sebagian orang hanya melumuri kepala, wajah, kedua bahu dan pundak kemudian mengeringkan diri di samping kobaran api unggun. Hingga zuhur Asyura mereka tetap dalam kondisi seperti itu.
5- Tradisi Memutar Obor Api
Tradisi ini telah berusia 500 tahun dan termasuk tradisi takziyah kedukaan di waliyah bagian tengah dan selatan Iran yang marak di kalangan orang-orang Arab.
Selain wilayah-wilayah Arab, beberapa kota seperti Qom, Kota Rei, dan Ardakan Yazd juga melakukan tradisi tersebut. Pada zaman dahulu obor yang digunakan masih menggunakan kayu bakar, namun beberapa waktu terakhir ini menggunakan pembakar gas sebagai ganti jenis obor lama.
Waktu pelaksanaannya di berbagai wilayah Iran berbeda-beda. Sebagian kelompok takziyah melakukan itu pada 10 hari pertama di bulan Muharram untuk mengingatkan permulaan bulan duka. Sebagian melakukan pada hari ke-8 Muharram untuk memperingati sampainya Imam Husein, keluarga dan para sahabat beliau di bumi Karbala.
6- Taksiyah Kaum Perempuan di Astaneh-ye Asyrafiyeh
Lapisan masyarakat yang melakukan tradisi takziyah dan mengenang para syuhada Karbala tidak hanya diisi oleh kaum lelaki saja. Kaum perempuan di wilayah utara, terutama kota Astaneh-ye Asyrafiyeh provinsi Gilan mengungkapkan kedukaan mereka dengan cara unik. Mereka membentuk kelompok-kelompok takziyah dan berusaha menghidupkan penggalan sejarah peristiwa Asyura di benak masyarakat. Kelompok-kelompok ini mengingatkan kembali apa yang telah dilakukan oleh kaum perempuan Kabilah Sa’d yang mengebumikan jasad-jasad syuhada Karbala. Mereka terkadang hingga membawa sekop dan batang padi.
Sekop menjadi simbol pemakaman jasad dan batang padi yang dipukulkan ke kepala dan wajah mereka dalam kedukaan tragedi Karbala. Takziyah kaum perempuan dilakukan pada hari ke-11 Muharram dan di sebagian daerah berlanjut hingga 7 hari setelah Asyura.
7- Ritual Membuat Tenda dan pementasan takziyah di Noosy Abad, Isfahan
Masyarakat Noosy Abad, Isfahan dalam kedukaan mengenang peristiwa Karbala menuelenggarakan pementasan takziyah. Tradisi ini dilangsungkan dengan partisipasi ratusan bahkan ribuan orang yang membentuk dua barisan tentara nabi dan tentara musuh. Tradisi pementasan ini mungkin menjadi hal yang paling berbeda di Iran.
Pada 8 Muharram, sekelompok besar orang pergi menuju tempat tenda-tenda didirikan. Mereka membentuk barisan dua tentara, kemudian saling membaca syair kebanggaan sebelum dimulainya perang.
Anak-anak kecil saat berlangsungnya tradisi ini berada di sisi orang-orang dewasa dengan memakai pakaian tentara jahat dan baik. Mereka menyaksikan dan bahkan merasakan azadari ini dari dekat. Yang juga menarik dari ritual tersebut adalah adanya orang-orang yang berdandan menjadi berbagai tokoh seperti Nabi Musa, Nabi Isa, dan nabi-nabi lainnya, malaikat dan jin.
Tradisi ini telah berusia 100 tahun dan menjadi mukadimah untuk acara azadari yang menggambarkan barisan kemah para nabi dan digelandangnya tawanan dari Karbala.
8- Tradisi Memutar Bola Api
Memutar bola api di antara ritual yang banyak dijumpai di wilayah barat laut Iran dan latar belakangnya kembali ke masa Dinasti Safiwiyah. Bola api dari kain ini akan dinyalakan pada malam Asyura. Tempat yang dipilih adalah alun-alun atau bundaran kota. Setiap orang akan memilih obor yang sesuai dengan tinggi badannya. Ketika sumber utama obor telah dinyalakan, orang-orang akan menyalakan obornya masing-masing yang diikatkan dengan rantai panjang di tangannya dan memutarkan di atas kepalanya.
Menurut keyakinan masyarakat, api yang diputarkan ini mengingatkan api yang disulut di tenda kafilah Imam Husein pada sore hari Asyura. Ritual ini adalah salah satu dari 9 ritual dari provinsi Azarbaijan Timur yang tercatat dalam warisan budaya Asyura.
9- Tradisi Menyalakan Lilin yang telah ada sejak 1000 (seribu) tahun
Sore hari tanggal 9 Muharram (Tasu’a), berbagai kota di Iran, terutama Ardabil, Kasyan, dan Tabriz akan tenggelam dalam cahaya lilin yang dinyalakan masyarakat. Berdasarkan tradisi yang telah berlangsung 1000 tahun, mereka bergerak ke masjid-masjid dan menampilkan bentuk azadari yang menarik.
Dalam tradisi ini, penduduk kota bernazar dan bergerak dari satu masjid ke masjid lain hingga mencapai 40 masjid. Di banyak daerah lain, tradisi ini berlangsung pada malam ke-11 Muharram yaitu malam pertama syahidnya Imam Husein dan ditawannya keluarga beliau yang dikenal dengan tradisi malam Syam Ghariban.
10- Tradisi 40 mimbar
Tradisi 40 mimbar dalam ritual Asyura menjadi sebuah tradisi nasional yang tercatat negara. Tradisi ini dapat disaksikan di berbagai kota seperti Golestas, Isfahan, dan Lorestan. Dalam tradisi ini, rumah yang menjadi tempat ratapan kedukaan akan dibuatkan mimbar di depan pintunya. Orang-orang yang bernazar dapat menyalakan lilin di sana. Jumlah lilin yang dinyalakan dari satu mimbar ke mimbar lainnya harus mencapai 40 lilin. Saat menyalakan setiap lilin biasanya orang-orang meminta hajat mereka dan berdoa.
Kota Khorram Abad, Lorestan memiliki model lain pelaksanaan tradisi di atas dan banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Mereka melewati 40 mimbar untuk memberikan penghormatan dan mengenang puteri Imam Ali Zainab yang telah melewati 40 persinggahan dari Karbala hingga Syam. Kaum perempuan ini pada sore hari Tasu’a menutup wajah mereka dengan kain dan melakukan puasa diam saat melakukan ritual.
11- Tradisi mengangkat panji
Angkat panji atau bendera menjadi tradisi lain di Iran dalam penyelenggaraan takziyah pada hari-hari di bulan Muharram. Tradisi ini berlangsung dengan berbagai model di berbagai kota Iran. Tradisi yang paling terkanal berada di Tafrisy dan Hezaveh provinsi Markazi. Saat tiba waktu pelaksanaan tradisi ini, penduduk satu wilayah bersama dengan para tokoh dan habib (keturunan Nabi Muhammad) mengangkat panji atau bendera yang berada di masjid desa atau kota dan membawanya berkeliling dari satu gang ke gang lain sambil membaca kidung atau syair-syair kesedihan.
Di setiap daerah terdapat orang-orang yang bernazar. Mereka akan mengikatkan kain pada bendera dan mempersembahkan nazarnya di depan bendera, sedangkan orang-orang yang ingin hajatnya terpenuhi akan membuka kain dari bendera tersebut.
Seremoni ini akan berlanjut hingga hari Asyura. Setiap hari bendera akan diarak di suatu wilayah. Pada hari Asyura dibawa ke tempat ketinggian sementara penduduk bertakziah dengan memukul dada di sekitarnya. Di penghujung acara, mereka akan mengembalikan bendera di tempat semula.
Model lain dari tradisi ini juga dilangsungkan. Para habib di setiap wilayah pergi ke rumah pemilih bendera dan mereka mulai mambacakan syair-syair kedukaan. Mereka meminta pemiliknya untuk mengeluarkan bendera dari rumah. Mereka melakukan hal itu dari satu rumah ke rumah lain. Bendera-bendera tersebut biasanya dikumpulkan di masjid dan akan tetap berada di sana hingga bulan Muharram berakhir. Setelah selesai bendera-bendera itu akan dikembalikan kepada para pemiliknya. Tradisi ini telah berlangsung sejak masa Dinasti Qajar.
Sumber: https://www.karnaval.ir/blog/muharram-iran-tradition
.